Jakarta, 22 Januari 2025 – Departemen Kajian dan Literasi (KALITRA) Himpunan Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam (HIMAKOPI) Universitas PTIQ Jakarta mengadakan kegiatan Duduk Selingkar di Halaman Ma’had Al-Qur’an, Jakarta. Acara ini berlangsung dari pukul 16.30 hingga 18.00 WIB dan dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai fakultas dan semester.
Kegiatan ini membahas sosok Harvey Moeis, seorang tokoh yang baru-baru ini menjadi sorotan karena terjerat kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Moderator membuka acara dengan memberikan pengenalan singkat mengenai latar belakang Harvey Moeis. Meskipun dikenal sebagai seorang pengusaha dari keluarga terpandang, Harvey kini menjadi perhatian publik akibat kasus hukum yang menjeratnya.
Sang pemantik diskusi Muh. Imran Gifari (Presiden DEMA UPTIQ) menjelaskan bahwa Harvey Moeis didakwa melanggar dua pasal utama dalam kasusnya. Pertama, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat dipidana.”
Kedua, Harvey juga didakwa berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang menyatakan:
“Setiap orang yang mengalihkan, mentransfer, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.”
Namun, hukuman yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis, yaitu 6,5 tahun penjara, menuai kontroversi karena dinilai tidak sebanding dengan kerugian negara sebesar Rp271 triliun.
Dodi, salah satu peserta diskusi, memberikan pandangannya:
“Kasus ini mencerminkan adanya krisis moral di kalangan pejabat dan pengusaha. Sistem hukum yang longgar juga menjadi alasan mengapa kasus seperti ini terus terjadi.”
Sementara itu, Amri, seorang mahasiswa hukum, menambahkan:
“Kita tidak bisa langsung mengambil kesimpulan tanpa memahami jalannya persidangan dari awal. Penting untuk mengedepankan literasi hukum agar dapat menilai kasus ini secara objektif.”
Diskusi ini diakhiri dengan refleksi bersama. Para peserta berharap agar sistem hukum di Indonesia dapat ditegakkan secara adil dan kasus seperti ini menjadi pelajaran bagi generasi muda untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kejujuran dalam hidup maupun karier.
Kegiatan Duduk Selingkar ini menunjukkan pentingnya ruang diskusi bagi mahasiswa untuk mengkritisi isu-isu sosial, hukum, dan moral yang sedang terjadi.